Minggu, 26 April 2009

edisi II

NAD



Tak terasa masa pendidikan di Sekolah calon Tam-tama TNI Angkatan Darat (SECATAM) akhirnya usai, dan besok adalah pelantikan yang ditandai dengan penyematan baret. Sebuah seremonial yang selalu dilakukan untuk meresmikan anggota baru dikesatuan tersebut. Enam bulan masa pendidikan telah berhasil dilalui melewati berbagai macam gemblengan dan tataran yang membentuk mental disiplin agar menjadi seorang prajurit tangguh. Aku Iswan Setiawan yang hanya seseorang dari dusun terpencil di kabupaten Purwakarta – Jawa barat tentunya sangat bangga dapat mengabdi pada bangsa dan Negara sebagai prajurit TNI. Terlebih kedua orang tua ku yang cuma buruh tani, keringat dan air matanya dicurahkan hanya untuk ku agar bisa menjadi seperti ini. Untuk bisa masuk SECATAM tidaklah mudah, ada banyak test seleksi penerimaan yang harus dilalui hal tersebut sangat menguras asa dan pikiran disamping itu tak sedikit pula uang yang telah dikeluarkan. Bapakku mati-matian banting tulang mencari uang untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Sempat aku mengurungkan niat masuk menjadi anggota TNI karena tak tega melihat kedua orangtuaku yang hidup serba kekurangan hanya untuk kesuksesanku. Namun mereka terus mendorong ku untuk dapat menggapai cita-cita, sehingga tekadku pun bulat dan dengan satu janji dalam hati “akan ku bahagiakan mereka kelak bila ku berhasil”. Seluruh prajurit yang akan dilantik berbaris dilapangan sedangkan para orang tua berada di tribun kehormatan menyaksikan kami semua yang hendak dilantik menjadi seorang prajurit berpangkat Prada. Usai seremonial penyematan baret, para orangtua diizinkan menemui putra-putra kebanggaan mereka masing-masing. Air mata haru bahagia menetes dari semua yang ada dilapangan tersebut menangisi akan apa yang telah dicapai. Aku pun tak luput dari moment tersebut dalam pelukan bapak dan ibuku yang erat, tangis haru mengiringi setiap kata yang kami ucapkan.
Pulang kembali ke desa dengan dagu terangkat dan dada membusung membawa sejuta kebanggaan dalam hati, seragam dinas yang ku kenakan mengudang mata setiap warga desa yang melihat dan menyambut dengan senyum penanda rasa turut bangga. Begitu pun Bapak ku, dari sumringah senyum wajahnya berusaha mengatakan “inilah hasil dari perjuangan ku selama ini”. Masa libur 3 hari ku manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk beristirhat dan merefresh pikiran. Dengan potongan rambut cepak dan pakaian setelan training suit dari kesatuan ku pergi jalan-jalan keliling desa di pagi hari yang cerah. Desa yang telah kutinggalkan selama enam bulan menyisakan memori yang sangat manis tuk dikenang. Suasana desa yang tenang, asri dengan hamparan sawah yang luas menciptakan rasa damai dalam hati setiap orang yang berada di sana, hal yang tidak ku dapat dimasa pendidikan. Setiap warga yang kujumpai dijalan menyapa dengan ucapan “ pagi pak tentara” dan aku pun menjawabnya dengan disertai senyum lebar. Masa liburku belumlah habis, namun aku harus kembali ke kesatuan mengambil surat dinas penempatan tugas di PROPAM. Pagi itu ku berangkat dengan sejuta rasa, karena ku akan menerima surat tugas pertama ku. Tiba di kesatuan tampak sudah banyak teman-teman satu leating dengan ku sudah berkerumun di sekitar kantor PROPAM, beberapa diantaranya tampak murung dan bercakap-cakap dengan berbagai keluh. Ketika ku hampiri dan menenyakan kenapa, salah satu diantara mereka menjawab, “kita bakal dikirim ke Aceh”. Rupanya ada yang telah mendapat bocoran isi surat dinas yang belum di bagikan. Setengah tidak percaya, ku coba mengajak rekan-rekan untuk berfikir positif dan menerima apa yang yang akan didapat dengan ikhlas dan tanggung jawab sebagai seorang prajurit. Surat dinas pun dibagikan, apa yang sejak tadi dibicarakan terbukti. Dan akupun membayangkan bagai mana rekasi Ibuku bila mendengar kabar ini. Naluri keibuannya pasti tak akan rela melepasku tugas ke daerah konflik.

««« Kami ditugaskan ke Aceh sebagai pasukan pemukul pertama dengan misi menumpas organisasi separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Helm baja dikepala, mengendong ransel perbelakalan aku bersama satu kompi rekan-rekan yang lain berjalan menyusuri jalan-jalan di desa cotrien sambil menyandang senapan semi otomatis SS1 buatan PT. Pindad. Kedatangan kami ke desa tersebut menimbulkan ketakutan yang mendalam bagi penduduk desa tersebut tampat dari raut wajah mereka ketika melihat kami. Seluruh penduduk langsung menghentikan aktifitasnya dan masuk kedalam rumah begitu mengetahui kedatangan kami membuat Cotrien seketika itu menjadi desa mati. Sikap warga yang demikian didasarkan karena setiap terjadi konflik antara TNI dan GAM selalu menyisakan derita bagi mereka. Langkah kami yang seirama dan pandangan mata yang selalu waspada mendeteksi kehadiran musuh telah bercampur dengan kegalauan hati nurani melihat penderitaan tersebut. Rentetan tembakan menyambut kami saat kompi melintasi sebuah jembatan besar yang membentang diatas sungai yang lebarnya sampai 10 m. Ketegagan menyeruak, seketika itu seluruh anggota bertiarap dan menunduk berlindung di bahu jembatan. Tampak salah satu anggota terkapar di jalan karena terkena tembakan. Desingan peluru dari arah bawah jembatan terus menghujani kami, komandan memberi perintah dengan bahasa isyarat tangan yang langsung dimengerti. Kami langsung membalas tembakan dan beberapa orang anggota bergerak memutar melakukan pengepungan. Kontak senjata yang terjadi selama 30 menit menjadi pertempuran yang tak seimbang dan tentu kemenangan berpihak pada kami yang unggul segi jumlah anggota. Dari 15 orang anggota GAM yang melakukan kontak senjata dengan kami, berhasil dibekuk 6 orang, lima orang tewas dan sisanya melarikan diri. Sedangkan dari pihak kami 1 orang terluka tembak dibahu kanannya, setelah mendapat pertolongan medis dia terpaksa melanjutkan perjalanan dengan digotong tandu karena kehilangan banyak darah membuat fisiknya menjadi sangat lemah.
Keenam tawanan kami kumpulkan disisi jalan beraspal yang sudah banyak lubang. Setelah atribut dan persenjataannya dilucuti mereka dibelenggu satu sama lain. Komandan berusaha menghubungi markas melaporkan yang baru saja terjadi dan minta segara dilakukan evakuasi korban dan tawanan yang berhasil dibekuk. Namun markas menolak permintaan komandan dengan alasan hari mulai gelap dan evakuasi baru bisa dilakukan keesokan harinya.
Karena bukan tidak mungkin truk penjemput dihadang pasukan GAM sebelum tiba dilokasi evakuasi. Waktu menunjukkan pukul 17.15 waktu setempat komandan meberiinstruksi kapada kami untuk bermalam di desa ini dan mencari tempat paling aman. Setelah melihat peta disepakati satu lokasi yang dirasa paling aman. Seluruh rombongan bergerak menuju balai desa Cotrien seperti yang di perintahkan komandan. Barulah setengah perjalanan ditempuh, satu orang tawanan melarikan diri memanfaatkan kelengahan kami. Aku dan beberapa orang rekan ambil inisiatif melakukan pengejaran. Tas ransel dengan cepat ku tanggalkan guna mengurangi beban sehingga aku dapat berlari lebih cepat, tembakan sesekali dilepaskan ke udara sebagai peringatan bagi tawanan yang melarikan diri tersebut. Setelah pengejaran sejauh 1 Km terlihat dia terengah-engah kelelahan. Hal ini kesempatan bagi ku, sambil berlari aku loncat dan melayangkan tedangan kearahnya. Dia pun jatuh tersungkur berguling-guling di tanah. Rekan-rekan ku yang lain dengan sigap membekuknya seraya melayangkan beberapa pukulan ke wajah dan tubuhnya. Dalam bekukan sorot matanya tajam menatap kearah ku, seperti menaruh dendam yang sangat dalam kepada ku. Tetapi kenapa hanya pada ku demikian Ia menatap ku, padahal ada 4 orang rekan ku yang lain ikut dalam pengejaran dan memukulinya. Gamang dalam hati tak tau apa yang dia maksudkan, satu tamparan keras kulayangkan kewajahnya, dengan maksud memalingkan wajahnya seraya menyakan “ mau apa kau menatap ku seperti itu?” namun ia tak bergeming dengan sikapnya. Kami langsung menyeretnya kembali ke kompi dan kemudian melanjutkan perjalanan.
Pukul 19.00 kami tiba dilokasi sesuai dengan yang direncanakan, didepan gedung balai desa komandan memerintahkan ku dan satu orang prajurit lainnya masuk kedalam memeriksa keadaan. Betapa terkejutnya, didalam gedung ternyata telah penuh sesak dengan para pengungsi. Ini akan menyulitkan kami dalam strategi pengamanan lokasi karena terlalu banyak unsur luar yang sulit diawasi. Kami berdua melaporkan hal ini kepada komandan yang sejak tadi menunggu diluar gedung. Kebingungan tampak dari wajah komandan mendengar berita dari kami, dia berfikir keras untuk langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Setalah menimbang-nimbang akhirnya komandan memberi keputusan untuk ambil resiko bermalam dibalai desa tersebut, karena dirasa cara ini yang paling kecil resikonya dibandingkan harus kembali melanjutkan perjalanan dikegelapan malam. Taktikal pemangaman lokasi kami jalankan sesuai instruksi dari komandan, beberapa orang anggota berjaga-jaga disekitar gedung membentuk formasi bertahan yang paling baik sesuai dengan yang biasa kami lakukan saat latihan. Kebetulan aku dan dua orang rekan ku mendapat tugas untuk berjaga dibagian belakang gedung. Kami bertiga bahu membahu menggali parit untuk tempat perlindungan. Dalam waktu 30 menit parit telah mencapai kedalaman dan lebar yang diinginkan. Dari dalam parit kami mengawasi kondisi sekitar dengan sangat seksama dan kewaspadaan menjaga kemungkinanan datangnya serangan dari musuh. Udara malam yang sangat dingin dapat dihalau karena kami bertiga berada dalam parit membuat suhu tubuh tetap hangat, namun rasa kantuk sulit untuk dihidari. Sesekali akupun menguap silih berganti dengan dua orang rekanku yang lain tanda rasa kantuk sudah tak tertahan. Kami saling mengingatkan untuk tetap terjaga bila ada salah satu dari kami ada yang mulai terlelap.
Dua jam berselang, masih dalam parit kami mengawasi kondisi sekitar. Tiba-tiba melintas dihadapan kami sesosok wanita bekulit putih dengan rambut panjang hampir sampai pinggang. Berbalut kemeja dan celana pendek berwarna hijau gelap mengenakan sepatu cat melangkah dengan gerak-gerik yang sangat mencurigakan. Salah satu rekan ku mengira wanita tersebut adalah setan kuntilanak namun rekan yang lain menyangkal karena tidak ada kuntilanak yang mengenakan baju hijau dengan celana pendek. Dari dalam parit ku coba berteriak memanggilnya tapi wanita tersebut tak menghiraukan. Aku pun beranjak dari dalam parit membuntutinya. Nampaknya dia merasakan ada seseorang yang membuntutinya dari belakang sehingga ia mempercepat langkahnya. Ku coba memanggilnya lagi dan memperdekat jarak dengan nya. Dikegelapan malam, pos tempat ku berjaga pun sudah tak terlihat akhirnya berhasil ku raih bahu kanannya dengan tangan kiri ku.seketika itu pula Ia menoleh seraya melayangkan golok kearah ku. Dengan gerak refleks ku halau serangannya dan tanpa kesulitan golok yang semula dalam genggamannya berhasil ku kuasai. Tak lama berselang muncul beberapa orang pria dari berbagai penjuru. “sial aku masuk perangkap!” ternyata mereka anggota GAM, satu persatu dengan senjata tajam mereka menyerang ku. ..1,..2,..3 orang berhasil ku robohkan tapi karena jumlah mereka yang banyak membuat ku sangat kualahan. Sambil melakukan perlawanan ku coba mencari celah untuk meloloskan diri. Akhirnya ku dapatkan kesempatan emas tersebut, akupun berlari ke pos tempat ku berjaga. Para GAM tersebut tidak serta merta melepaskan ku, merekapun mengejar ku, sesekali ku lakukan perlawanan pada orang terdepan yang mengejar ku guna menciptakan jarak antara mereka. Saat pos tempat ku berjaga sudah terlihat, dua orang rekan ku yang berjaga langsung menyambut orang-orang yang mengejar ku dengan tembakan. Beberapa tewas terkapar sisanya melarikan diri. Tiba di pos ku katakan pada dua orang rekan ku bahwa tempat ini sudah dikepung GAM. Belum selesai aku bicara, seorang kopral dari dalam gedung berteriak mengakatakan bahwa kita diserang dari arah depan. Ketenggan menyeruak dalam diri kami semua, sebuah dilema terjadi dimana kita harus membantu reka-rekan kami didepan yang diserang dengan harus tetap disini disiplin menjaga pos masing-masing. Akhirnya formasi pertahanan berantakan beberapa telah meninggalkan posnya dan masuk kedalam gedung membantu rekan yang kualahan menghadapi serangan. Benar saja, akibat banyak pos yang ditinggalkan membuat kami tak mampu menahan serangan yang ternyata juga datang dari belakang gedung.
Merasa sudah tak sanggup lagi menahan serangan yang datang dari belakang, akhirnya kami bertiga pun meninggalkan pos dan masuk kedalam gedung. Situasi didalam gedung ternyata jauh lebih kacau, baru anyir sangat santer tercium hasil dari darah yang berceceran membanjiri lantai. Mayat rekan-rekan ku dan warga sipil tampak tergeletak diberbagai sudut ruang. Pengungsi yang semula ada didalam gedung ternyata adalah anggota GAM yang menyamar. Kondisi ini membuat ku merasa sudah tidak aman lagi untuk tetap bertahan didalam gedung. Ku coba mencari komandan ditengah kekacauan ini. Tampak dari kejauhan di sebuah sudut ruang komandan tampak sedang mengangkat kedua tangannya dengan todongan pistol dikepalanya. Dia berusaha bersikap tenang walau aku tahu pasti dalam hatinya berkecamuk rasa katakutan. Pemandangan tersebut membuat semangat juang ku sedikit luntur, dan yang lebih parah lagi “dor”. Pistol yang ditodong di kepala komandanku meletus, peluru yang masuk memaksa darah dan isi kepalanya mengalir keluar seketika itu Ia tewas dan jatuh tersungkur. “A.. A.. a.. a..!” teriak ku coba tuk kembali membakar semangat dalam diri seraya berlari berusaha mencari jalan keluar. Baru beberapa langkah ku, tiba-tiba sebilah kapak terbang melayang kearah ku, secepat mungkin ku bergerak dan berhasil menghindarinya. Ku balas dengan rentetan tembakan dari senapan semi otomatis ku. Sambil berlari terus ku muntahkan peluru ke segala arah. Meninggalkan semua rekan-rekan ku berlari keluar mencari tempat yang lebih aman.
Tiba di luar gedung ternyata situasinya tak kalah kacau dengan di dalam. Di tengah kebingungan karena tak tahu harus kemana ku harus berfikir cepat dan akhirnya pandangan ku tertuju pada sebuah dinding setinggi 2m. dengan cepat ku panjat dinding tersebut dan dalam hitungan detik aku sudah ada di balik dinding tersebut. Tak jauh dari sana tampak sebuah bangunan cukup besar setelah ku dekati ternyata sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cotrien. Situasi di rumah sakit tampak normal, mungkin belum ada yang mengetahui tentang apa yang sedang terjadi di Balai desa. Para suster perawat tampak sibuk hilir mudik menjalakan tugasnya menjaga pasien rawat inap. Ku hampiri salah seorang suster dan menyakan apakah ada sarana telekomunikasi di rumah sakit ini. Sang suster menunjuk sebuah ruang di sudut rumah sakit seraya mengatakan “telepon ?!”. mengangguk seraya melontarkan senyum penanda terimakasih aku pun bergegas menuju kearah yang ditunjuknya. Tiba diruang tersebut tamapak rekan ku Yanto sedang asik menelpon pacarnya di kampung. Rupanya dia melalaikan tugas meninggalkan pos sebelum penyerangan terjadi, sehingga ia tak mengetahui apa yang sedang terjadi. Ketika ku ceritakan apa yang telah terjadi padanya, wajahnya tampak pucat, panik dan sedikit tak percaya. Namun ku berhasil menenangkanya dan menyuruhnya untuk coba menghubungi markas. Sambil menunggu yanto menghubungi markas kucoba untuk beristirahat sejenak sambil tetap waspada. Ku geser sedikit daun pintu agar dapat mengintip situasi diluar, ketegangan kembali melanda dalam diri. Situasi rumah sakit yang semula ramai dengan aktifitas suster perawat tiba-tiba sunyi senyap. Suasana semakin bertambah tegang ketika yanto mengatakan bahwa ia tak berhasil menghubungi markas karena teleponnya telah diputus. Tak lama berselang listrik pun dipadamkan, yanto panik langsung lari keluar. Belum sempat ku mencegahnya, di ambang pintu puluhan peluru menyambutnya yang kemudian bersarang ditubuhnya. Dengan berat hati ku meninggalkanya lalu melompat keluar lewat jendela. Di belakang rumah sakit ternyata sudah ada beberapa anggota GAM yang berjaga. Sambil berlari kearah pagar kulepaskan tembakan kearah mereka. Berhasil melompati pagar dan terus berlari secepat mungkin dengan diringi hujan peluru yang ditembakkan para anggota GAM.
Berlari menembus gelapnya malam, tak tahu arah tujuan hingga akhir ku sampai pada sebuah taman pemakaman umum. Disini ku coba mengatur nafas ku kembali, di bawah sebuah pohon besar duduk berselonjor keluarkan satu kotak rokok ambil satu batang masukkan kemulut kemudian bakar salah satu ujungnya dengan korek api. Ketegangan sedikit menurun, sambil tetap wapada mengawasi situasi sekitar ku buku rompi anti peluru yang ku kenakan lau kubentangkan. Betapa terkejut ketika kulihat kondisi rompi sudah compang-camping dengan banyak peluru yang tersangkut. Pada pinggang dan paha kananku terdapat luka akibat terserempet peluru. Ketika aku sedang membalut luka-luka, tampak sesosok wanita paruh baya berkerudung hitam di kejauhan masuk kedalam pemakaman. Berhenti pada salah satu makam duduk berlutut kemidian nangis meraung-raung meratapi batu nisan. Selesai membalut luka belum lagi sempat ku kenakan baju karena penasaran langsung ku hampiri wanita tersebut. Setelah ku dekati belum sempat ku menegur, ketika dia mengetahui kehadiran ku langsung menagacungkan pistol kearah ku sambil melontarkan beberapa kata-kata dengan bahasa setempat. Ku coba menenangkannya dan mengajaknya berdialog, namun dia tak mengerti bahasa Indonesia dan akupun tak mengerti bahasanya. Nada bicaranya semakin tinggi. Tampaknya dia marah besar pada ku. Hampir saja dia menarik pelatuk pistolnya, namun tak sempat karena dengan cepat ku berhasil merampasnya. Tak lama setelah itu darah dari keningnya memercik ke wajahku. Ternyata sebuah peluru yang ditembakkan oleh sniper GAM telah menembus kepalanya. Sebelum tembakan selanjutnya mengarah pada ku, aku langsung melarikan diri.
Pelarian ku berlanjut, karena tak tahu daerah tersebut membuat malah menuju ke sebuah perkampungan yang harusnya ku hindari. Belajar dari pengalaman sebelumnya, sedapat mungkin ku hindari kontak dengan penduduk setempat. Ku berjalan mengendap-endap di kegelapan malam berharap tak terlihat. Di sebuah kandang ternak sapi yang sudah reot berdinding anyaman bambu akhirnya ku bersembunyi. Tak sempat ku beristirahat lama, karena pengurus peternakan telah memulai aktifitasnya dini hari itu. Perlahan ku meninggalkan peternakan tersebut agar keberadaan ku tak di ketahui dan kemudian pergi semakin menjauhi perkampungan tersebut. Kelelahan yang sangat telah melanda fisikku, rasanya tak sanggup lagi meneruskan pelarian ini. Jangankan berjalan, berdiri saja sudah kepayahan kaki ku menopang tubuh ini. Angin malam yang dingin menembus tulang-tulang. Akhirnya aku pun jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri di sebuah ladang cabe.
Matahari mulai menampakkan diri, cahayanya menembus kelopak mata ku sehingga akupun tersadar dari pingsan. Berusaha mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum nya, ku melihat ke sekeliling. Betapa terkejutnya, tanaman di ladang yang semalam ku kira cabe ternyata adalah ganja. Tanaman ganja yang berumur 3 bulan menghijaukan ladang seluas 5 hektare. Sayub-sayub ku dengar suara orang di kejauhan. Ku temukan sumber suara tersebut, dari lembah bukit tempat ku berada. Tampak markas besar GAM dengan ratusan pasukannya yang sedang berbaris melakukan apel pagi. Lututku terasa sangat lemah tak lagi sanggup berfikir dalam keputus asa’an setelah pangglima GAM menunjuk kearah ku diikuti dengan ratusan kepasan pasukan GAM yang menoleh kearah ku juga. Akupun berteriak “A…A…A… a…a…”

«««“Wan.. Wan…” panggil Ibu ku membuat ku terbangun dari tidur ku. Oh.. ternyata ku telah bermimpi ditengah tidurku yang terduduk di kursi roda. “mimpi buruk lagi Wan?” lanjutnya. Ku jawab dengan anggukan kepala. Tampak wajah ibu ku mengiba padaku tak tahan melihat penderitaan yang ku alami. Kaki kanan ku terpaksa diamputasi karena infeksi luka yang sangat parah setelah penugasan ku di Aceh. Mimpi buruk yang selalu berulang setiap tidurku adalah kejadian yang ku alami ketika aku bertugas disana. Kondisi kejiwaanku pun menjadi sangat kacau. Namun Ibu ku yang dengan sabar merawat ku masih sangat bersyukur, karena dari satu kompi pasukan yang dikirimkan hanya aku yang bisa kembali tidak dalam kantong mayat.



- - The End - -
Night mare
After
Duty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar