Minggu, 26 April 2009

edisi II

NAD



Tak terasa masa pendidikan di Sekolah calon Tam-tama TNI Angkatan Darat (SECATAM) akhirnya usai, dan besok adalah pelantikan yang ditandai dengan penyematan baret. Sebuah seremonial yang selalu dilakukan untuk meresmikan anggota baru dikesatuan tersebut. Enam bulan masa pendidikan telah berhasil dilalui melewati berbagai macam gemblengan dan tataran yang membentuk mental disiplin agar menjadi seorang prajurit tangguh. Aku Iswan Setiawan yang hanya seseorang dari dusun terpencil di kabupaten Purwakarta – Jawa barat tentunya sangat bangga dapat mengabdi pada bangsa dan Negara sebagai prajurit TNI. Terlebih kedua orang tua ku yang cuma buruh tani, keringat dan air matanya dicurahkan hanya untuk ku agar bisa menjadi seperti ini. Untuk bisa masuk SECATAM tidaklah mudah, ada banyak test seleksi penerimaan yang harus dilalui hal tersebut sangat menguras asa dan pikiran disamping itu tak sedikit pula uang yang telah dikeluarkan. Bapakku mati-matian banting tulang mencari uang untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Sempat aku mengurungkan niat masuk menjadi anggota TNI karena tak tega melihat kedua orangtuaku yang hidup serba kekurangan hanya untuk kesuksesanku. Namun mereka terus mendorong ku untuk dapat menggapai cita-cita, sehingga tekadku pun bulat dan dengan satu janji dalam hati “akan ku bahagiakan mereka kelak bila ku berhasil”. Seluruh prajurit yang akan dilantik berbaris dilapangan sedangkan para orang tua berada di tribun kehormatan menyaksikan kami semua yang hendak dilantik menjadi seorang prajurit berpangkat Prada. Usai seremonial penyematan baret, para orangtua diizinkan menemui putra-putra kebanggaan mereka masing-masing. Air mata haru bahagia menetes dari semua yang ada dilapangan tersebut menangisi akan apa yang telah dicapai. Aku pun tak luput dari moment tersebut dalam pelukan bapak dan ibuku yang erat, tangis haru mengiringi setiap kata yang kami ucapkan.
Pulang kembali ke desa dengan dagu terangkat dan dada membusung membawa sejuta kebanggaan dalam hati, seragam dinas yang ku kenakan mengudang mata setiap warga desa yang melihat dan menyambut dengan senyum penanda rasa turut bangga. Begitu pun Bapak ku, dari sumringah senyum wajahnya berusaha mengatakan “inilah hasil dari perjuangan ku selama ini”. Masa libur 3 hari ku manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk beristirhat dan merefresh pikiran. Dengan potongan rambut cepak dan pakaian setelan training suit dari kesatuan ku pergi jalan-jalan keliling desa di pagi hari yang cerah. Desa yang telah kutinggalkan selama enam bulan menyisakan memori yang sangat manis tuk dikenang. Suasana desa yang tenang, asri dengan hamparan sawah yang luas menciptakan rasa damai dalam hati setiap orang yang berada di sana, hal yang tidak ku dapat dimasa pendidikan. Setiap warga yang kujumpai dijalan menyapa dengan ucapan “ pagi pak tentara” dan aku pun menjawabnya dengan disertai senyum lebar. Masa liburku belumlah habis, namun aku harus kembali ke kesatuan mengambil surat dinas penempatan tugas di PROPAM. Pagi itu ku berangkat dengan sejuta rasa, karena ku akan menerima surat tugas pertama ku. Tiba di kesatuan tampak sudah banyak teman-teman satu leating dengan ku sudah berkerumun di sekitar kantor PROPAM, beberapa diantaranya tampak murung dan bercakap-cakap dengan berbagai keluh. Ketika ku hampiri dan menenyakan kenapa, salah satu diantara mereka menjawab, “kita bakal dikirim ke Aceh”. Rupanya ada yang telah mendapat bocoran isi surat dinas yang belum di bagikan. Setengah tidak percaya, ku coba mengajak rekan-rekan untuk berfikir positif dan menerima apa yang yang akan didapat dengan ikhlas dan tanggung jawab sebagai seorang prajurit. Surat dinas pun dibagikan, apa yang sejak tadi dibicarakan terbukti. Dan akupun membayangkan bagai mana rekasi Ibuku bila mendengar kabar ini. Naluri keibuannya pasti tak akan rela melepasku tugas ke daerah konflik.

««« Kami ditugaskan ke Aceh sebagai pasukan pemukul pertama dengan misi menumpas organisasi separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Helm baja dikepala, mengendong ransel perbelakalan aku bersama satu kompi rekan-rekan yang lain berjalan menyusuri jalan-jalan di desa cotrien sambil menyandang senapan semi otomatis SS1 buatan PT. Pindad. Kedatangan kami ke desa tersebut menimbulkan ketakutan yang mendalam bagi penduduk desa tersebut tampat dari raut wajah mereka ketika melihat kami. Seluruh penduduk langsung menghentikan aktifitasnya dan masuk kedalam rumah begitu mengetahui kedatangan kami membuat Cotrien seketika itu menjadi desa mati. Sikap warga yang demikian didasarkan karena setiap terjadi konflik antara TNI dan GAM selalu menyisakan derita bagi mereka. Langkah kami yang seirama dan pandangan mata yang selalu waspada mendeteksi kehadiran musuh telah bercampur dengan kegalauan hati nurani melihat penderitaan tersebut. Rentetan tembakan menyambut kami saat kompi melintasi sebuah jembatan besar yang membentang diatas sungai yang lebarnya sampai 10 m. Ketegagan menyeruak, seketika itu seluruh anggota bertiarap dan menunduk berlindung di bahu jembatan. Tampak salah satu anggota terkapar di jalan karena terkena tembakan. Desingan peluru dari arah bawah jembatan terus menghujani kami, komandan memberi perintah dengan bahasa isyarat tangan yang langsung dimengerti. Kami langsung membalas tembakan dan beberapa orang anggota bergerak memutar melakukan pengepungan. Kontak senjata yang terjadi selama 30 menit menjadi pertempuran yang tak seimbang dan tentu kemenangan berpihak pada kami yang unggul segi jumlah anggota. Dari 15 orang anggota GAM yang melakukan kontak senjata dengan kami, berhasil dibekuk 6 orang, lima orang tewas dan sisanya melarikan diri. Sedangkan dari pihak kami 1 orang terluka tembak dibahu kanannya, setelah mendapat pertolongan medis dia terpaksa melanjutkan perjalanan dengan digotong tandu karena kehilangan banyak darah membuat fisiknya menjadi sangat lemah.
Keenam tawanan kami kumpulkan disisi jalan beraspal yang sudah banyak lubang. Setelah atribut dan persenjataannya dilucuti mereka dibelenggu satu sama lain. Komandan berusaha menghubungi markas melaporkan yang baru saja terjadi dan minta segara dilakukan evakuasi korban dan tawanan yang berhasil dibekuk. Namun markas menolak permintaan komandan dengan alasan hari mulai gelap dan evakuasi baru bisa dilakukan keesokan harinya.
Karena bukan tidak mungkin truk penjemput dihadang pasukan GAM sebelum tiba dilokasi evakuasi. Waktu menunjukkan pukul 17.15 waktu setempat komandan meberiinstruksi kapada kami untuk bermalam di desa ini dan mencari tempat paling aman. Setelah melihat peta disepakati satu lokasi yang dirasa paling aman. Seluruh rombongan bergerak menuju balai desa Cotrien seperti yang di perintahkan komandan. Barulah setengah perjalanan ditempuh, satu orang tawanan melarikan diri memanfaatkan kelengahan kami. Aku dan beberapa orang rekan ambil inisiatif melakukan pengejaran. Tas ransel dengan cepat ku tanggalkan guna mengurangi beban sehingga aku dapat berlari lebih cepat, tembakan sesekali dilepaskan ke udara sebagai peringatan bagi tawanan yang melarikan diri tersebut. Setelah pengejaran sejauh 1 Km terlihat dia terengah-engah kelelahan. Hal ini kesempatan bagi ku, sambil berlari aku loncat dan melayangkan tedangan kearahnya. Dia pun jatuh tersungkur berguling-guling di tanah. Rekan-rekan ku yang lain dengan sigap membekuknya seraya melayangkan beberapa pukulan ke wajah dan tubuhnya. Dalam bekukan sorot matanya tajam menatap kearah ku, seperti menaruh dendam yang sangat dalam kepada ku. Tetapi kenapa hanya pada ku demikian Ia menatap ku, padahal ada 4 orang rekan ku yang lain ikut dalam pengejaran dan memukulinya. Gamang dalam hati tak tau apa yang dia maksudkan, satu tamparan keras kulayangkan kewajahnya, dengan maksud memalingkan wajahnya seraya menyakan “ mau apa kau menatap ku seperti itu?” namun ia tak bergeming dengan sikapnya. Kami langsung menyeretnya kembali ke kompi dan kemudian melanjutkan perjalanan.
Pukul 19.00 kami tiba dilokasi sesuai dengan yang direncanakan, didepan gedung balai desa komandan memerintahkan ku dan satu orang prajurit lainnya masuk kedalam memeriksa keadaan. Betapa terkejutnya, didalam gedung ternyata telah penuh sesak dengan para pengungsi. Ini akan menyulitkan kami dalam strategi pengamanan lokasi karena terlalu banyak unsur luar yang sulit diawasi. Kami berdua melaporkan hal ini kepada komandan yang sejak tadi menunggu diluar gedung. Kebingungan tampak dari wajah komandan mendengar berita dari kami, dia berfikir keras untuk langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Setalah menimbang-nimbang akhirnya komandan memberi keputusan untuk ambil resiko bermalam dibalai desa tersebut, karena dirasa cara ini yang paling kecil resikonya dibandingkan harus kembali melanjutkan perjalanan dikegelapan malam. Taktikal pemangaman lokasi kami jalankan sesuai instruksi dari komandan, beberapa orang anggota berjaga-jaga disekitar gedung membentuk formasi bertahan yang paling baik sesuai dengan yang biasa kami lakukan saat latihan. Kebetulan aku dan dua orang rekan ku mendapat tugas untuk berjaga dibagian belakang gedung. Kami bertiga bahu membahu menggali parit untuk tempat perlindungan. Dalam waktu 30 menit parit telah mencapai kedalaman dan lebar yang diinginkan. Dari dalam parit kami mengawasi kondisi sekitar dengan sangat seksama dan kewaspadaan menjaga kemungkinanan datangnya serangan dari musuh. Udara malam yang sangat dingin dapat dihalau karena kami bertiga berada dalam parit membuat suhu tubuh tetap hangat, namun rasa kantuk sulit untuk dihidari. Sesekali akupun menguap silih berganti dengan dua orang rekanku yang lain tanda rasa kantuk sudah tak tertahan. Kami saling mengingatkan untuk tetap terjaga bila ada salah satu dari kami ada yang mulai terlelap.
Dua jam berselang, masih dalam parit kami mengawasi kondisi sekitar. Tiba-tiba melintas dihadapan kami sesosok wanita bekulit putih dengan rambut panjang hampir sampai pinggang. Berbalut kemeja dan celana pendek berwarna hijau gelap mengenakan sepatu cat melangkah dengan gerak-gerik yang sangat mencurigakan. Salah satu rekan ku mengira wanita tersebut adalah setan kuntilanak namun rekan yang lain menyangkal karena tidak ada kuntilanak yang mengenakan baju hijau dengan celana pendek. Dari dalam parit ku coba berteriak memanggilnya tapi wanita tersebut tak menghiraukan. Aku pun beranjak dari dalam parit membuntutinya. Nampaknya dia merasakan ada seseorang yang membuntutinya dari belakang sehingga ia mempercepat langkahnya. Ku coba memanggilnya lagi dan memperdekat jarak dengan nya. Dikegelapan malam, pos tempat ku berjaga pun sudah tak terlihat akhirnya berhasil ku raih bahu kanannya dengan tangan kiri ku.seketika itu pula Ia menoleh seraya melayangkan golok kearah ku. Dengan gerak refleks ku halau serangannya dan tanpa kesulitan golok yang semula dalam genggamannya berhasil ku kuasai. Tak lama berselang muncul beberapa orang pria dari berbagai penjuru. “sial aku masuk perangkap!” ternyata mereka anggota GAM, satu persatu dengan senjata tajam mereka menyerang ku. ..1,..2,..3 orang berhasil ku robohkan tapi karena jumlah mereka yang banyak membuat ku sangat kualahan. Sambil melakukan perlawanan ku coba mencari celah untuk meloloskan diri. Akhirnya ku dapatkan kesempatan emas tersebut, akupun berlari ke pos tempat ku berjaga. Para GAM tersebut tidak serta merta melepaskan ku, merekapun mengejar ku, sesekali ku lakukan perlawanan pada orang terdepan yang mengejar ku guna menciptakan jarak antara mereka. Saat pos tempat ku berjaga sudah terlihat, dua orang rekan ku yang berjaga langsung menyambut orang-orang yang mengejar ku dengan tembakan. Beberapa tewas terkapar sisanya melarikan diri. Tiba di pos ku katakan pada dua orang rekan ku bahwa tempat ini sudah dikepung GAM. Belum selesai aku bicara, seorang kopral dari dalam gedung berteriak mengakatakan bahwa kita diserang dari arah depan. Ketenggan menyeruak dalam diri kami semua, sebuah dilema terjadi dimana kita harus membantu reka-rekan kami didepan yang diserang dengan harus tetap disini disiplin menjaga pos masing-masing. Akhirnya formasi pertahanan berantakan beberapa telah meninggalkan posnya dan masuk kedalam gedung membantu rekan yang kualahan menghadapi serangan. Benar saja, akibat banyak pos yang ditinggalkan membuat kami tak mampu menahan serangan yang ternyata juga datang dari belakang gedung.
Merasa sudah tak sanggup lagi menahan serangan yang datang dari belakang, akhirnya kami bertiga pun meninggalkan pos dan masuk kedalam gedung. Situasi didalam gedung ternyata jauh lebih kacau, baru anyir sangat santer tercium hasil dari darah yang berceceran membanjiri lantai. Mayat rekan-rekan ku dan warga sipil tampak tergeletak diberbagai sudut ruang. Pengungsi yang semula ada didalam gedung ternyata adalah anggota GAM yang menyamar. Kondisi ini membuat ku merasa sudah tidak aman lagi untuk tetap bertahan didalam gedung. Ku coba mencari komandan ditengah kekacauan ini. Tampak dari kejauhan di sebuah sudut ruang komandan tampak sedang mengangkat kedua tangannya dengan todongan pistol dikepalanya. Dia berusaha bersikap tenang walau aku tahu pasti dalam hatinya berkecamuk rasa katakutan. Pemandangan tersebut membuat semangat juang ku sedikit luntur, dan yang lebih parah lagi “dor”. Pistol yang ditodong di kepala komandanku meletus, peluru yang masuk memaksa darah dan isi kepalanya mengalir keluar seketika itu Ia tewas dan jatuh tersungkur. “A.. A.. a.. a..!” teriak ku coba tuk kembali membakar semangat dalam diri seraya berlari berusaha mencari jalan keluar. Baru beberapa langkah ku, tiba-tiba sebilah kapak terbang melayang kearah ku, secepat mungkin ku bergerak dan berhasil menghindarinya. Ku balas dengan rentetan tembakan dari senapan semi otomatis ku. Sambil berlari terus ku muntahkan peluru ke segala arah. Meninggalkan semua rekan-rekan ku berlari keluar mencari tempat yang lebih aman.
Tiba di luar gedung ternyata situasinya tak kalah kacau dengan di dalam. Di tengah kebingungan karena tak tahu harus kemana ku harus berfikir cepat dan akhirnya pandangan ku tertuju pada sebuah dinding setinggi 2m. dengan cepat ku panjat dinding tersebut dan dalam hitungan detik aku sudah ada di balik dinding tersebut. Tak jauh dari sana tampak sebuah bangunan cukup besar setelah ku dekati ternyata sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cotrien. Situasi di rumah sakit tampak normal, mungkin belum ada yang mengetahui tentang apa yang sedang terjadi di Balai desa. Para suster perawat tampak sibuk hilir mudik menjalakan tugasnya menjaga pasien rawat inap. Ku hampiri salah seorang suster dan menyakan apakah ada sarana telekomunikasi di rumah sakit ini. Sang suster menunjuk sebuah ruang di sudut rumah sakit seraya mengatakan “telepon ?!”. mengangguk seraya melontarkan senyum penanda terimakasih aku pun bergegas menuju kearah yang ditunjuknya. Tiba diruang tersebut tamapak rekan ku Yanto sedang asik menelpon pacarnya di kampung. Rupanya dia melalaikan tugas meninggalkan pos sebelum penyerangan terjadi, sehingga ia tak mengetahui apa yang sedang terjadi. Ketika ku ceritakan apa yang telah terjadi padanya, wajahnya tampak pucat, panik dan sedikit tak percaya. Namun ku berhasil menenangkanya dan menyuruhnya untuk coba menghubungi markas. Sambil menunggu yanto menghubungi markas kucoba untuk beristirahat sejenak sambil tetap waspada. Ku geser sedikit daun pintu agar dapat mengintip situasi diluar, ketegangan kembali melanda dalam diri. Situasi rumah sakit yang semula ramai dengan aktifitas suster perawat tiba-tiba sunyi senyap. Suasana semakin bertambah tegang ketika yanto mengatakan bahwa ia tak berhasil menghubungi markas karena teleponnya telah diputus. Tak lama berselang listrik pun dipadamkan, yanto panik langsung lari keluar. Belum sempat ku mencegahnya, di ambang pintu puluhan peluru menyambutnya yang kemudian bersarang ditubuhnya. Dengan berat hati ku meninggalkanya lalu melompat keluar lewat jendela. Di belakang rumah sakit ternyata sudah ada beberapa anggota GAM yang berjaga. Sambil berlari kearah pagar kulepaskan tembakan kearah mereka. Berhasil melompati pagar dan terus berlari secepat mungkin dengan diringi hujan peluru yang ditembakkan para anggota GAM.
Berlari menembus gelapnya malam, tak tahu arah tujuan hingga akhir ku sampai pada sebuah taman pemakaman umum. Disini ku coba mengatur nafas ku kembali, di bawah sebuah pohon besar duduk berselonjor keluarkan satu kotak rokok ambil satu batang masukkan kemulut kemudian bakar salah satu ujungnya dengan korek api. Ketegangan sedikit menurun, sambil tetap wapada mengawasi situasi sekitar ku buku rompi anti peluru yang ku kenakan lau kubentangkan. Betapa terkejut ketika kulihat kondisi rompi sudah compang-camping dengan banyak peluru yang tersangkut. Pada pinggang dan paha kananku terdapat luka akibat terserempet peluru. Ketika aku sedang membalut luka-luka, tampak sesosok wanita paruh baya berkerudung hitam di kejauhan masuk kedalam pemakaman. Berhenti pada salah satu makam duduk berlutut kemidian nangis meraung-raung meratapi batu nisan. Selesai membalut luka belum lagi sempat ku kenakan baju karena penasaran langsung ku hampiri wanita tersebut. Setelah ku dekati belum sempat ku menegur, ketika dia mengetahui kehadiran ku langsung menagacungkan pistol kearah ku sambil melontarkan beberapa kata-kata dengan bahasa setempat. Ku coba menenangkannya dan mengajaknya berdialog, namun dia tak mengerti bahasa Indonesia dan akupun tak mengerti bahasanya. Nada bicaranya semakin tinggi. Tampaknya dia marah besar pada ku. Hampir saja dia menarik pelatuk pistolnya, namun tak sempat karena dengan cepat ku berhasil merampasnya. Tak lama setelah itu darah dari keningnya memercik ke wajahku. Ternyata sebuah peluru yang ditembakkan oleh sniper GAM telah menembus kepalanya. Sebelum tembakan selanjutnya mengarah pada ku, aku langsung melarikan diri.
Pelarian ku berlanjut, karena tak tahu daerah tersebut membuat malah menuju ke sebuah perkampungan yang harusnya ku hindari. Belajar dari pengalaman sebelumnya, sedapat mungkin ku hindari kontak dengan penduduk setempat. Ku berjalan mengendap-endap di kegelapan malam berharap tak terlihat. Di sebuah kandang ternak sapi yang sudah reot berdinding anyaman bambu akhirnya ku bersembunyi. Tak sempat ku beristirahat lama, karena pengurus peternakan telah memulai aktifitasnya dini hari itu. Perlahan ku meninggalkan peternakan tersebut agar keberadaan ku tak di ketahui dan kemudian pergi semakin menjauhi perkampungan tersebut. Kelelahan yang sangat telah melanda fisikku, rasanya tak sanggup lagi meneruskan pelarian ini. Jangankan berjalan, berdiri saja sudah kepayahan kaki ku menopang tubuh ini. Angin malam yang dingin menembus tulang-tulang. Akhirnya aku pun jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri di sebuah ladang cabe.
Matahari mulai menampakkan diri, cahayanya menembus kelopak mata ku sehingga akupun tersadar dari pingsan. Berusaha mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum nya, ku melihat ke sekeliling. Betapa terkejutnya, tanaman di ladang yang semalam ku kira cabe ternyata adalah ganja. Tanaman ganja yang berumur 3 bulan menghijaukan ladang seluas 5 hektare. Sayub-sayub ku dengar suara orang di kejauhan. Ku temukan sumber suara tersebut, dari lembah bukit tempat ku berada. Tampak markas besar GAM dengan ratusan pasukannya yang sedang berbaris melakukan apel pagi. Lututku terasa sangat lemah tak lagi sanggup berfikir dalam keputus asa’an setelah pangglima GAM menunjuk kearah ku diikuti dengan ratusan kepasan pasukan GAM yang menoleh kearah ku juga. Akupun berteriak “A…A…A… a…a…”

«««“Wan.. Wan…” panggil Ibu ku membuat ku terbangun dari tidur ku. Oh.. ternyata ku telah bermimpi ditengah tidurku yang terduduk di kursi roda. “mimpi buruk lagi Wan?” lanjutnya. Ku jawab dengan anggukan kepala. Tampak wajah ibu ku mengiba padaku tak tahan melihat penderitaan yang ku alami. Kaki kanan ku terpaksa diamputasi karena infeksi luka yang sangat parah setelah penugasan ku di Aceh. Mimpi buruk yang selalu berulang setiap tidurku adalah kejadian yang ku alami ketika aku bertugas disana. Kondisi kejiwaanku pun menjadi sangat kacau. Namun Ibu ku yang dengan sabar merawat ku masih sangat bersyukur, karena dari satu kompi pasukan yang dikirimkan hanya aku yang bisa kembali tidak dalam kantong mayat.



- - The End - -
Night mare
After
Duty

edisi I

EIDELWEIS

Seperti anak-anak remaja kebanyakan, pada bulan februari sibuk merencanakan hal-hal yang romantis. Terlepas bahwa 14 februari adalah perayaan valentine yang merupakan hal yang dilarang bagi umat muslim. Tapi 14 februari bagi Roni bukan hanya valentine, karena pada tanggal tersebut kebetulan juga hari ulang tahun Alen, kekasihnya. Pada ulang tahun sebelum-sebelumnya Roni selalu memberikan Alen coklat. Hubungan Roni dan Alen terbilang awet, karena valentine kali ini adalah yang ketiga bagi mereka.
Tahun ini Roni hendak meberikan hadiah sepesial, yang sangat jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dia berniat menghadiahkan Alen bunga eidelweis. Kebetualan Roni dan kawan-kawannya telah merencanakan pendakian ke gunung kerinci pada awal bulan ini. Bersama 10 orang rekanya Roni berangkat dari base camp Hyper pala. Setelah mengecek semua perlengkapan dan perbekalan yang telah disusun dalam beberapa buah tas rasel besar, sambil menenteng tas ranselnya Ia pun tak lupa berpamitan dengan Alen yang ikut melepas keberangkatannya.
Roni :“Nanti kubawakan sesuatu yang special untuk mu”.
Alen,, Dengan mata berkaca-kaca Alen tak sanggup berkata apa-apa. Dia
langsung memeluk erat Roni, seakan tak rela melepas
keberangkatannya.

Tiba dikaki gunung kerinci, seluruh anggota beristirahat sejenak dan Roni yang bertindak sebagai pimpinan rombongan mengurus administrasi di pos penjagaan. Setelah menyelesaikan administrasi,
Roni : “Ayo brangkat!!”
Robert : “ Ah, baru juga istirahat.. mang lho ga cape tadi kita di bus 4 jam
perjalanan? “ (dengan wajah yang pucat karena mabuk darat)
Phei : “ Dasar lho bet anak mami, baru segitu aja ngeluh”
Roni : “ udah ayo jalan jangan berdebat!”
Roni dan rombongannya pun berangkat, tak berapa lama mereka berjalan, tiba-tiba berpapasan dengan seseorang yang tampak misterius, pria paruh baya dengan setelan baju hitam-hitam seperti seorang pendekar pencak silat dengan sorban berwarna hitam pula yang melilit dikepalanya. Kulit wajah yang sudah keriput, berjengot panjang dan sedikit ber uban, dengan tatapan mata yang menerawang. Saat berlalu, orang tersebut sempat menyapa Roni,
Pria misterius :” De kalau mau keatas jumlahnya jangan ganjil”.
Roni : (seraya tersenyum dan sejuta tanda tanya didalam pikirannya)
“makasih mang”.
Entah karena Dia tak mengerti atau tak ingin menghiraukan perkataan orang tadi. Yang ada dalam hati Roni hanya pertanyaan,”siapakah orang itu ?”. Saat Roni ingin mempertegasnya dengan memalingkan pandangannya kebelakang kearah pria mistertius tadi berlalu, tetapi telah hilang ditelan rimbunnya hutan.
Boni : (yang berjalan tepat dibelakang roni) “kenapa?”.
Roni : (tak menjawab dan langsung berpaling melanjutkan perjalanan).

Baru setengah perjalanan berhasil mereka tempuh, tiba-tiba turun hujan sangat deras. Dengan sigap Erwin dan Phei yang kebetulan bagian membawa perlengkapan, ambil inisiatif mendirikan tenda, sedangkan anggota yang lain sibuk menjaga perbekalan agar tidak basah selama tenda belum berdiri. Dalam waktu 5 menit tenda berhasil didirikan ditengah guyuran hujan, dan seluruh anggotapun masuk kedalam tenda. Karena hujan tak kunjung reda, akhirnya mereka memutuskan untuk bermalam. Malam semakin larut, dengan hujan yang tak menurunkan intensitasnya, dan tanpa perapian. Hanya dengan sleeping bag rasa dingin yang merasuk hingga tulang dapat dihalau, kelelahan yang luar biasa membuat sebagian anggota telah terlelap tidur. Didalam tenda Roni menanyakan perihal laki-laki misterius yang dijumpainya dibawah tadi kepada Awang.
Roni : “wang tadi pas masih dibawah, Kakek-kakek yang pake baju item
tadi bilang apa si?”
Awang : “Kakek-kakek yang mana?” (Sambil memicingkan mata dan
berusaha mengingat-ingat)
Roni : “ Lho ga ketemu ?”
Awang : “ Enggak!!”
Dan ternyata Awang tidak merasa berpapasan dengan seorangpun selama perjalanan tadi. Bulu kuduk Roni langsung berdiri, dia menarik selimutnya dan berusaha untuk dapat tertidur.
Di keheningan malam, disaat seluruh anggota terlelap tidur karena kelelahan setelah apa yang mereka jalani hari ini. Tiba-tiba seekor babi hutan menyeruduk masuk kedalam tenda. Kontan hal tersebut membuat semuanya panik berlari tak tentu arah, tanpa menghiraukan hal lain yang ada hanya berusaha menyelematkan diri masing-masing. Situasi menjadi sangat kacau, perbekalan yang mereka bawa menjadi rusak selain karena di acak-acak babi hutan tadi, tetapi juga karena tidak sengaja terinjak-injak oleh seluruh angota yang panik. Setelah berhasil mengendalikan diri dengan melihat situasi yang terjadi sebenarnya, akhirnya mereka berhasil menghalau babi hutan tersebut. Situasipun kembali normal. Seluruh anggota tertawa lepas, menertawakan kejadian yang baru saja mereka lalui karena bisa menjadi hal yang sangat lucu apabila diingat-ingat lagi. Roni menyadari bahwa ada anggotanya yang hilang,
Roni : “WOI !! Robert mana? ada yang liat ga?” (teriaknya).
Seluruh anggota kembali terdiam, selang beberapa detik semua langsung bergerak berusaha mencari Robert.
Setelah beberapa lama,
Boni :“Robert ada disini!” (teriak).
Seluruh anggota langsung bergegas menuju sumber suara. Ternyata Robert terperosok kedalam lereng gunung yang terjal. Kondisinya cukup parah, tanpa ada komando sebagian anggota turun kebawah melakukan pertolongan pertama dan evakuasi. Dengan mengikatkan simpul-simpul tali kemudian ditarik oleh rekan-rekan yang lain diatas, Robert berhasil dievakuasi dari lereng. Kaki kanannya patah, dan ia tak mungkin dapat melanjutkan perjalanan, Erwin memutuskan tidak ikut melanjutkan perjalanan untuk menemani Robert menunggu bantuan datang.
Belum sempat fajar menyingsing, dengan perbekalan yang tersisa Roni dan kawan-kawannya melanjutkan perjalanan. Ketika perjalanan hampir mencapai pada puncak gunungnya, badai kabut menerjang. Badai kabut tersebut cukup dasyat membuat jarak pandang menjadi sangat terbatas sehingga mereka kesulitan untuk dapat melihat satu sama lain. Karena hal tersebut, Roni mengeluarkan seutas tali, dan memerintahkan seluruh anggotanya untuk mengikatkan diri mereka masing-masing sehingga terhubung satu-samalain pada seutas tali tersebut. Dimaksudkan agar apabila ada salah seorang anggota yang terjatuh tidak akan tertinggal karena cepat disadari rekan-rekan yang lain. Sambil merayap mereka melanjutkan perjalanan, berdasarkan teori antara kabut dengan permukaan tanah terdapat jarak 1 meter yang bebas kabut.
Sesampainya ditempat aman dimana kabutpun telah berlalu, mereka melepas lelah. Roni mengecek anggotanya dan didapati tali yang diikatkan pada tubuh mereka telah putus sehingga dua anggota berada paling belakang hilang. Dalam kondisi yang kelelahan dan pikiran yang kacau membuat mereka pasrah dan putus asa untuk mencari rekan mereka yang hilang tadi. Ditengah rasa keputus asaan, akhirnya Boni mulai angkat bicara.
Boni :”Kayaknya pendakian kita cuma bisa sampe sini”.
Roni : (dengan semagat menggebu-gebu) “ Tanggung lagi ! puncak
gunung dari sini jaraknya tinggal 3 Km”.
Boni : “Percuma ! kita maksain keatas, cuma buat menuhin obsesi lho
nyari eidelweis!”
Perdebetan alot pun tak terhindarkan diantara mereka sampai akhirnya terpecah menjadi dua kubu antara Roni dan Boni. Boni pun mengeluarkan keputusan,
Boni :”Udah yang mao ikut gua, kita beresin perlengkapan, trus kita
turun”
Phei : (berusaha menengahi) “ ga bisa gitu Bon, harus solider..!” “satu
turun semua turun, satu naik semua naik”.
Boni : “ Sory Phei gua ga akan solider sama orang yang lebih
mementingkan ambisinya dibanding teamnya”
Wal hasil hanya tiga orang (Roni, Phei, dan joe) yang masih mau melajutkan pendakian, sisannya memlih kembali bersama Boni.
Baru berjalan sepuluh langkah setelah berpaling dari rombongan Boni, Roni kembali bertemu dengan laki-laki misterius yang ditemuinya dibawah tadi. Dan kejadiannya berulang seperti me replay pada kaset, setelah mengatakan kata-kata yang sama seperti dibawah tadi ia langsung menghilang dikegelapan. Roni sangat ketakutan, wajahnya pucat pasi, dengkulnya terasa lemas, namun tekatnya telah bulat sehingga membuatnya kemabali kuat dan berusaha menghiraukan hal tersebut. Mereka bertiga; Roni, Phei, dan Joe bahu membahu mengahadapi medan yang sulit, sesekali saling membantu apabila ada yang kesulitan. Mereka bertiga seperti sudah menjadi satu anggota tubuh yang saling mendukung dalam menghadapi medan untuk dapat sampai kepuncak.
Akhirnya mereka berhasil menaklukan rintangan dan dapat mencapai puncaknya. Wajah merekapun sumringah memancarkan kepuasan atas apa yang mereka capai. Teriring senja yang mulai berwarna jingga, bendera kesatuan pencinta alamnya pun ditancapkan sebagai ritual yang menandakan kemenangan mereka menaklukan gunung tersebut. Setelah melepas lelah sambil beberapa kali merekam mement yang ada lewat sebuah kamera foto yang mereka bawa, Roni kembali pada tujuan utama yakni membawakan Alen bunga eidelweis. Dan ternyata tujuan mereka bertiga pun tak jauh beda, ingin memetik bunga eidelweis. Mereka langsung berpencar mencari bunga tersebut. Pada kesempatan kali ini bukanlah musim untuk eidelweis berbunga, sehingga sangat sulit tuk menemukannya. Setelah berputar-putar disekeliling puncak gunung, akhirnya mereka bertemu pada satu titik dimana terdapat eidelweis yang hanya 17 kuntum. Ambisi dan ego yang dimiliki Roni terlalu besar mengalahkan kepentingan teman-teman yang lain, Ia berhasrat memliki kesemua bunga tersebut karena kebetulan Alen berulang tahun yang ke 17 pula. Merasa Joe sebagai penghalang terbesar dalam memenuhi hasratnya, Ia langsung menghajarnya. Baku hantam akhirnya tak terhindarkan diantara meraka berdua, Phei berusaha melerai kedua temannya yang berkelahi seperti kesetanan. Pertarungan mulai tak seimbang Joe mulai tersudut dan akhirnya roboh. Belum sempat Roni merayakan kemenangannya, sebuah bogem mentah dari Phei mendarat di rahangnya, Roni pun langsung tersungkur ke tanah.
Phei :” Elho jadi orang jangan makan temen lho sendiri !”
(teriaknya setelah menghajar Roni)
Phei kemudian berusaha menolong Joe yang sudah babak belur dan sangat tak berdaya, Phei mengobati luka-lukanya dengan obat-obatan yang tersisa di ransel perbekalan.
Seakan tak menghiraukan yang baru saja terjadi, Roni secepatnya berlari setelah memetik kesemua bunga yang ada. Melihat Roni berlari terburu dan meninggalkan perbekalannya Phei berusaha mengejar karena khawatir terjadi sesuatu padanya. Namun kemudian Phei mengurungkan niatnya karena Joe lebih membutuhkannya saat ini. Roni berlari tanpa tau arah dan tujuan, setelah merasa aman sejenak Ia beristirahat seraya mengatur nafas yang terengah-engah dan melihat keseliling. Belum sempat nafas dan detak jantung kembali teratur, muncul lagi laki-laki misterius tadi namun kali ini tampak lebih seram dengan wajah angker yang terlihat sangat pucat. Ketakutan yang luar biasa membuat Roni berlari sekuat-kuatnya melupakan rasa lelah yang ada, tanpa menghiraukan apapun yang ada dihadapannya Ia menerobos pepohonan dan semak-semak yang rimbun di hutan. Laki-laki misterius tersebut masih terus mengikutinya manampakkan diri kemanapun Ia memandang, terus menerus menghantui membuatnya semakin panik dan berlari tak tentu arah.
Sampai akhirnya, ”a a a A A A !!” sebuah dahan dari pohon yang tumbang akibat badai menancap tepat pada ulu hatinya, yang Ia tabrak sendiri karena panik dan tak menghiraukan apa yang ada didepannya. Dahan pohon tersebut hasil dari patahan pohon yang tumbang menjadi sangat runcing sehingga dapat menembus ulu hatinya, darah segar mengalir tak terbedung dan berceceran disekitarnya. Seketika itu pula nyawanya melayang setelah hembusan nafas terkahirnya.
Sementara itu di lain tempat Alen tampak sangat gelisah diatas ranjang kamarnya karena besok adalah hari ulang tahunnya, sedangkan dia belum mendapatkan kabar sedikitpun dari atau tentang Roni. Beragam kekhawatiran menyeruak dalam pikirannya, apakah sesuatu telah terjadi pada Roni atau kah Roni sengaja melupakan hari pentingnya. Malam semakin larut.. hal tersebut masih terus mengganggunya sehingga menbuatnya sulit untuk memejamkan mata. Guling yang ada disisinya dipeluknya erat sebagai bentuk pelampiasan akan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Jam diding dikamarnya terasa berdetak sangat keras memecah keheningan malam didalam kamar. Sampai pada pukul 00.00, terdengar seseorang mengetuk jendela kamarnya. Intensitas denyut pada jantungnya meningkat drastis, bulu kuduk berdiri ketakutan langsung menyeruak dalam pikirannya. Namun rasa penasaran mengalahkan itu semua, Ia pun memberanikan diri untuk membuka jendela. Sumringah senyum kebahagiaan terpancar diwajahnya, seseorang yang selama ini dinanti dan di khawatirkan ada di hadapannya. Roni muncul di muka jendelanya dengan perilaku yang sangat tak biasa dan menjadi tanda tanya besar buat Alen. Dengan jaket parasut yang lusuh, wajah yang sangat pucat, dan tanpa ada kata-kata yang keluar sepatah pun keluar dari mulutnya Roni memberikan 17 kuntum bunga eidelweis pada Alen. Belum sempat Alen mengucapkan terimakasih atau mengatkan hal lain, Roni langsung pergi begitu saja.
Pagi menjelang, cahaya matahari berusaha menerobos melalui celah-celah jendela kamar Alen. Ketika membuka mata, tampak kedua orang tuanya menyambutnya bangun dipagi ini dengan senyum lebar dan ucapan selamat ulang tahun dilayangkan sambil mendaratkan kecupan hangat dikeningnya. Selesai itu Ia pun beranjak menuju dapur mengambil segelas air putih yang kemudian dibawanya ke ruang tengah. Di ruang tersebut tampak televisi yang menyala tanpa seorang pun yang menonton. Duduk di sofa depan TV, ambil remote bermaksud mengganti chanel. Namun kemudian Ia tertegun setelah melihat siaran berita pagi di TV. Dikatakan;
“ telah ditemukan 11 orang pendaki gunung tersesat digunung kerinci, 8 orang ditemukan dalam keadaan selamat, 2 orang luka parah dan 1 orang meninggal di tempat terpisah. Korban meninggal diidentifikasi bernama Roni umur 19 tahun”
Alen sangat syock diam sejuta kata, tak mengerti apa yang terjadi sampai akhirnya tak sadarkan diri. 17 kuntum bunga eidelweis dari Roni masih ada dalam genggamannya.

-- The End --

welcom to my Jungle

for the first I would to say thank tou for yhe coming. on my blog you can enjoy my sort story.